Andragogi berasal dari
bahasa Yunani kuno: "aner", dengan akar kata andr, yang berarti orang dewasa,
dan agogus yang berarti membimbing atau membina. Istilah lain yang sering
dipergunakan sebagai perbandingan adalah "pedagogi", yang ditarik dari kata
"paid" artinya anak dan "agogus" artinya membimbing atau memimpin. Dengan
demikian secara harfiah "pedagogi" berarti seni atau pengetahuan membimbing atau
memimpin atau mengajar anak. Karena pengertian pedagogi adalah seni atau
pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka apabila menggunakan istilah
pedagogi untuk kegiatan pendidikan atau pelatihan bagi orang dewasa jelas tidak
tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Banyak praktik proses belajar
dalam suatu pelatihan yang ditujukan kepada orang dewasa, yang seharusnya
bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara yang pedagogis. Dalam hal ini
prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat
diberlakukan bagi kegiatan pelatihan bagi orang dewasa.
Dengan demikian maka kalau
ditarik pengertiannya sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harfiah
dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun karena orang
dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri,
maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar adalah
kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan
bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered
Training/Teaching).
2.
Perkembangan
Teori Belajar Andragogi
Malcolm Knowles
dalam publikasinya yang berjudul "The Adult Learner, A Neglected Species"
yang diterbitkan pada tahun 1970 mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi
orang dewasa. Sejak saat itulah istilah "Andragogi" makin diperbincangkan oleh
berbagai kalangan khususnya para ahli pendidikan.
Sebelum muncul Andragogi,
yang digunakan dalam kegiatan belajat adalah Pedagogy. Konsep ini menempatkan
murid/siswa sebagai obyek di dalam pendidikan, mereka mesti menerima pendidikan
yang sudah di setup oleh sistem pendidikan, di setup oleh gurunya/pengajarnya.
Apa yang dipelajari, materi yang akan diterima, metode panyampaiannya, dan
lain-lain, semua tergantung kepada pengajar dan tergantung kepada sistem. Murid
sebagai obyek dari pendidikan.
Kelemahannya Pedagogi
adalah manusia (dalam hal ini adalah siswa) yang memiliki keunikan, yang
memiliki talenta, memiliki minat, memiliki kelebihan, menjadi tidak berkembang,
menjadi tidak bisa mengeksplorasi dirinya sendiri, tidak mampu menyampaikan
kebenarannya sendiri, sebab yang memiliki kebenaran adalah masa lalu, adalah
sesuatu yang sudah mapan dan sudah ada sampai sekarang. Perbedaan bukanlah
menjadi hal yang biasa, melainkan jika ada yang berbeda itu akan dianggap
sebagai sebuah perlawanan dan pemberontakan. Pedagogy memiliki kelebihan, yakni
di dalam menjaga rantai keilmuan yang sudah diawali oleh orang-orang terdahulu,
maka rantai emas dan benang merah keilmuan bisa dilanjutkan oleh generasi
mendatang. Generasi mendatang tidak perlu mulai dari nol lagi, melainkan tinggal
melanjutkan apa yang sudah ditemukan, apa yang sudah dirintis, apa yang sudah
dimulai oleh generasi mendatang.
Dalam Andragogy inilah,
kita kenal istilah-istilah Enjoy Learning, Workshop, Pelatihan Outbond,dll, dan
dari konsep Pendidikan Andragogy inilah kemudian muncul konsep-konsep
Liberalisme pendidikan, Liberasionisme pendidikan dan Anarkisme pendidikan.
Liberalisme pendidikan bertujuan jangka panjang untuk melestarikan dan
memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa
sebagaimana cara menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari
secara efektif. Liberasionisme pendidikan adalah sebuah sudut pandang yang
menganggap bahwa kita musti segera melakukan perombakan berlingkup besar
terhadap tatanan politik (dan pendidikan) yang ada sekarang, sebagai cara untuk
memajukan kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan perujudan
potensi-potensi diri semaksimal mungkin. Bagi pendidik liberasionis, sekolah
bersifat obyektif namun tidak sentral dan sekolah bukan hanya mengajarkan pada
siswa bagaimana berpikir yang efektif secara rasional dan ilmiah, melainkan juga
mengajak siswa untuk memahami kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam
pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paling meyakinkan. Dengan kata
lain, liberasionisme pendidikan dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang
terbuka. Secara moral, sekolah berkewajiban mengenalkan dan mempromosikan
program-program sosial konstruktif dan bukan hanya melatih pikiran siswa.
Sekolahpun harus memajukan pola tindakan yang paling meyakinkan yang didukung
oleh sebuah analisis obyektif berdasarkan fakta-fakta yang ada. Hal ini sejalan
dengan pendapat Aristoteles tentang prinsip pendidikan yaitu sebagai wahana
pengkajian fakta-fakta, mencari ‘yang obyektif’, melalui pengamatan atas
kenyataan. Anarkisme pendidikan pada umumnya menerima sistem penyelidikan
eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan melalui penalaran ilmiah).
Tetapi berbeda dengan liberal dan liberasionis, anarkisme pendidikan beranggapan
bahwa harus meminimalkan dan atau menghapuskan pembatasan-pembatasan kelembagaan
terhadap perilaku personal, bahwa musti dilakukan untuk membuat masyarakat yang
bebas lembaga. Menurut anarkisme pendidikan, pendekatan terbaik terhadap
pendidikan adalah pendekatan yang mengupayakan untuk mempercepat perombakan
humanistik berskala besar yang mendesak ke dalam masyarakat, dengan cara
menghapuskan sistem persekolahan sekalian.
3.
Asumsi-Asumsi Pokok Teori Belajar Andragogi
Malcolm Knowles (1970)
dalam mengembangkan konsep andragogi, mengembangkan empat pokok asumsi sebagai
berikut:
a.
Konsep
Diri:
Asumsinya bahwa kesungguhan dan kematangan diri seseorang bergerak dari
ketergantungan total (realita pada bayi) menuju ke arah pengembangan diri
sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri. Dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak-anak masih tergantung
sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian
inilah orang dewasa membutuhkan memperoleh penghargaan orang lain sebagai
manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination), mampu
mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila orang dewasa tidak
menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan timbulnya
penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan, maka akan menimbulkan penolakan
atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan
psikologis yang dalam agar secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam situasi
tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.
b.
Peranan Pengalaman:
Asumsinya adalah bahwa
sesuai dengan perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke
arah kematangan. Dalam perjalanannya, seorang individu mengalami dan
mengumpulkan berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan, dimana hal ini
menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar yang demikian kaya, dan pada
saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar
dan memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi pelatihan atau
pembelajaran orang dewasa, terjadi penurunan penggunaan teknik transmittal
seperti yang dipergunakan dalam pelatihan konvensional dan menjadi lebih
mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal dengan
"Experiential Learning Cycle" (Proses Belajar Berdasarkan Pengalaman).
Hal in menimbulkan implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan metoda dan teknik
kepelatihan. Maka, dalam praktek pelatihan lebih banyak menggunakan diskusi
kelompok, curah pendapat, kerja laboratori, sekolah lapang, melakukan praktek
dan lain sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peranserta
atau partisipasi peserta pelatihan.
c.
Kesiapan Belajar
: Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi matang sesuai dengan
perjalanan waktu, maka kesiapan belajar bukan ditentukan oleh kebutuhan atau
paksaan akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh
tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan sosialnya. Pada seorang
anak belajar karena adanya tuntutan akademik atau biologiknya. Tetapi pada orang
dewasa siap belajar sesuatu karena tingkatan perkembangan mereka yang harus
menghadapi dalam peranannya sebagai pekerja, orang tua atau pemimpin organisasi.
Hal ini membawa implikasi terhadap materi pembelajaran dalam suatu pelatihan
tertentu. Dalam hal ini tentunya materi pembelajaran perlu disesuaikan dengan
kebutuhan yang sesuai dengan peranan sosialnya.
d.
Orientasi
Belajar:
Asumsinya yaitu bahwa pada anak orientasi belajarnya seolah-olah sudah
ditentukan dan dikondisikan untuk memiliki orientasi yang berpusat pada materi
pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation). Sedangkan pada orang
dewasa mempunyai kecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada
pemecahan permasalahan yang dihadapi (Problem Centered Orientation). Hal
ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk
menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan keseharian, terutama dalam
kaitannya dengan fungsi dan peranan sosial orang dewasa. Selain itu, perbedaan
asumsi ini disebabkan juga karena adanya perbedaan perspektif waktu. Bagi orang
dewasa, belajar lebih bersifat untuk dapat dipergunakan atau dimanfaatkan dalam
waktu segera. Sedangkan anak, penerapan apa yang dipelajari masih menunggu waktu
hingga dia lulus dan sebagainya. Sehingga ada kecenderungan pada anak, bahwa
belajar hanya sekedar untuk dapat lulus ujian dan memperoleh sekolah yang lebih
tinggi. Hal ini menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau
pelatihan bagi orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat
praktis dan dapat segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.
4.
Andragogi
dan Psikologi Perkembangan
Seperti telah disebutkan
di atas bahwa dalam diri orang dewasa sebagai siswa yang sudah tumbuh kematangan
konsep dirinya timbul kebutuhan psikologi yang mendalam yaitu keinginan
dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi utuh yang mengarahkan
dirinya sendiri. Namun, tidak hanya orang dewasa tetapi juga pemuda atau remaja
juga memiliki kebutuhan semacam itu. Sesuai teori Peaget (1959) mengenai
perkembangan psikologi dari kurang lebih 12 tahun ke atas individu sudah dapat
berfikir dalam bentuk dewasa yaitu dalam istilah dia sudah mencapai perkembangan
pikir formal operation. Dalam tingkatan perkembangan ini individu sudah dapat
memecahkan segala persoalan secara logik, berfikir secara ilmiah, dapat
memecahkan masalah-masalah verbal yang kompleks atau secara singkat sudah
tercapai kematangan struktur kognitifnya. Dalam periode ini individu mulai
mengembangkan pengertian akan diri (self) atau identitas (identitiy)
yang dapat dikonsepsikan terpisah dari dunia luar di sekitarnya. Berbeda dengan
anak-anak, di sini remaja (adolescence) tidak hanya dapat mengerti
keadaan benda-benda di dekatnya tetapi juga kemungkinan keadaan benda-benda itu
di duga. Dalam masalah nilai-nilai remaja mulai mempertanyakan dan
membanding-bandingkan. Nilai-nilai yang diharapkan selalu dibandingkan dengan
nilai yang aktual. Secara singkat dapat dikatakan remaja adalah tingkatan
kehidupan dimana proses semacam itu terjadi, dan ini berjalan terus sampai
mencapai kematangan.
Dengan begitu jelaslah
kiranya bahwa pemuda (tidak hanya orang dewasa) memiliki kemampuan memikirkan
dirinya sendiri, dan menyadari bahwa terdapat keadaan yang bertentangan antara
nilai-nilai yang dianut dan tingkah laku orang lain. Oleh karena itu, dapat
dikatakan sejak pertengaham masa remaja individu mengembangkan apa yang
dikatakan "pengertian diri" (sense of identity).
Pembelajaran yang
diberikan kepada orang dewasa dapat efektif (lebih cepat dan melekat pada
ingatannya), bilamana pembimbing (pelatih, pengajar, penatar, instruktur, dan
sejenisnya) tidak terlalu mendominasi kelompok kelas, mengurangi banyak bicara,
namun mengupayakan agar individu orang dewasa itu mampu menemukan
alternatif-alternatif untuk mengembangkan kepribadian mereka. Seorang pembimbing
yang baik harus berupaya untuk banyak mendengarkan dan menerima gagasan
seseorang, kemudian menilai dan menjawab pertanyaan yang diajukan mereka. Orang
dewasa pada hakikatnya adalah makhluk yang kreatif bilamana seseorang mampu
menggerakkan/menggali potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam upaya ini,
diperlukan keterampilan dan kiat khusus yang dapat digunakan dalam pembelajaran
tersebut. Di samping itu, orang dewasa dapat dibelajarkan lebih aktif apabila
mereka merasa ikut dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran, terutama apabila
mereka dilibatkan memberi sumbangan pikiran dan gagasan yang membuat mereka
merasa berharga dan memiliki harga diri di depan sesama temannya. Artinya, orang
dewasa akan belajar lebih baik apabila pendapat pribadinya dihormati, dan akan
lebih senang kalau ia boleh sumbang saran pemikiran dan mengemukakan ide
pikirannya, daripada pembimbing melulu menjejalkan teori dan gagasannya sendiri
kepada mereka.
Oleh karena sifat belajar
bagi orang dewasa adalah bersifat subjektif dan unik, maka terlepas dari benar
atau salahnya, segala pendapat, perasaan, pikiran, gagasan, teori, sistem
nilainya perlu dihargai. Tidak menghargai (meremehkan dan menyampingkan) harga
diri mereka, hanya akan mematikan gairah belajar orang dewasa. Namun demikian,
pembelajaran orang dewasa perlu pula mendapatkan kepercayaan dari pembimbingnya,
dan pada akhirnya mereka harus mempunyai kepercayaan pada dirinya sendiri. Tanpa
kepercayaan diri tersebut, maka suasana belajar yang kondusif tak akan pernah
terwujud.
Orang dewasa memiliki
sistem nilai yang berbeda, mempunyai pendapat dan pendirian yang berbeda. Dengan
terciptanya suasana yang baik, mereka akan dapat mengemukakan isi hati dan isi
pikirannya tanpa rasa takut dan cemas, walaupun mereka saling berbeda pendapat.
Orang dewasa mestinya memiliki perasaan bahwa dalam suasana/ situasi belajar
yang bagaimanapun, mereka boleh berbeda pendapat dan boleh berbuat salah tanpa
dirinya terancam oleh sesuatu sanksi (dipermalukan, pemecatan, cemoohan, dll).
Keterbukaan seorang
pembimbing sangat membantu bagi kemajuan orang dewasa dalam mengembangkan
potensi pribadinya di dalam kelas, atau di tempat pelatihan. Sifat keterbukaan
untuk mengungkapkan diri, dan terbuka untuk mendengarkan gagasan, akan berdampak
baik bagi kesehatan psikologis, dan psikis mereka. Di samping itu, harus
dihindari segala bentuk akibat yang membuat orang dewasa mendapat ejekan, hinaan,
atau dipermalukan. Jalan terbaik hanyalah diciptakannya suasana keterbukaan
dalam segala hal, sehingga berbagai alternatif kebebasan mengemukakan ide/gagasan
dapat diciptakan.
Dalam hal lainnya, tidak
dapat dinafikkan bahwa orang dewasa belajar secara khas dan unik. Faktor tingkat
kecerdasan, kepercayaan diri, dan perasaan yang terkendali harus diakui sebagai
hak pribadi yang khas sehingga keputusan yang diambil tidak harus selalu sama
dengan pribadi orang lain. Kebersamaan dalam kelompok tidak selalu harus sama
dalam pribadi, sebab akan sangat membosankan kalau saja suasana yang seakan
hanya mengakui satu kebenaran tanpa adanya kritik yang memperlihatkan perbedaan
tersebut. Oleh sebab itu, latar belakang pendidikan, latar belakang kebudayaan,
dan pengalaman masa lampau masing-masing individu dapat memberi warna yang
berbeda pada setiap keputusan yang diambil.
Bagi orang dewasa,
terciptanya suasana belajar yang kondusif merupakan suatu fasilitas yang
mendorong mereka mau mencoba perilaku baru, berani tampil beda, dapat berlaku
dengan sikap baru dan mau mencoba pengetahuan baru yang mereka peroleh. Walaupun
sesuatu yang baru mengandung resiko terjadinya kesalahan, namun kesalahan, dan
kekeliruan itu sendiri merupakan bagian yang wajar dari belajar.
Pada akhirnya, orang
dewasa ingin tahu apa arti dirinya dalam kelompok belajar itu. Bagi orang dewasa
ada kecenderungan ingin mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. Dengan
demikian, diperlukan adanya evaluasi bersama oleh seluruh anggota kelompok
dirasakannya berharga untuk bahan renungan, di mana renungan itu dapat
mengevaluasi dirinya dari orang lain yang persepsinya bisa saja memiliki
perbedaan.
5.
Pengaruh
Penurunan Faktor Fisik dalam Belajar
Proses belajar manusia
berlangsung hingga ahkir hayat (long life education). Namun, ada korelasi
negatif antara pertambahan usia dengan kemampuan belajar orang dewasa. Artinya,
setiap individu orang dewasa, makin bertambah usianya, akan semakin sukar
baginya belajar (karena semua aspek kemampuan fisiknya semakin menurun).
Misalnya daya ingat, kekuatan fisik, kemampuan menalar, kemampuan berkonsentrasi,
dan lain-lain semuanya memperlihatkan penurunannya sesuai pertambahan usianya
pula. Menurut Lunandi (1987), kemajuan pesat dan perkembangan berarti tidak
diperoleh dengan menantikan pengalaman melintasi hidup saja. Kemajuan yang
seimbang dengan perkembangan zaman harus dicari melalui pendidikan. Menurut
Verner dan Davidson dalam Lunandi (1987) ada enam faktor yang secara psikologis
dapat menghambat keikutsertaan orang dewasa dalam suatu program pendidikan:
a.
Dengan
bertambahnya usia, titik dekat penglihatan atau titik terdekat yang dapat
dilihat secara jelas mulai bergerak makin jauh. Pada usia dua puluh tahun
seseorang dapat melihat jelas suatu benda pada jarak 10 cm dari matanya. Sekitar
usia empat puluh tahun titik dekat penglihatan itu sudah menjauh sampai 23 cm.
b.
Dengan
bertambahnya usia, titik jauh penglihatan atau titik terjauh yang dapat dilihat
secara jelas mulai berkurang, yakni makin pendek. Kedua faktor ini perlu
diperhatikan dalam pengadaan dan pengunaan bahan dan alat pendidikan.
c.
Makin
bertambah usia, makin besar pula jumlah penerangan yang diperlukan dalam suatu
situasi belajar. Kalau seseorang pada usia 20 tahun memerlukan 100 Watt
cahaya, maka pada usia 40 tahun diperlukan 145 Watt, dan pada usia 70 tahun
seterang 300 Watt baru cukup untuk dapat melihat dengan jelas.
d.
Makin
bertambah usia, persepsi kontras warna cenderung ke arah merah daripada spektrum.
Hal ini disebabkan oleh menguningnya kornea atau lensa mata, sehingga cahaya
yang masuk agak terasing. Akibatnya ialah kurang dapat dibedakannya
warna-warna-warna lembut. Untuk jelasnya perlu digunakan warna-warna cerah yang
kontras utuk alat-alat peraga.
e.
Pendengaran
atau kemampuan menerima suara mengurang dengan bertambahnya usia. Pada umumnya
seseorang mengalami kemunduran dalam kemampuannya membedakan nada secara tajam
pada tiap dasawarsa dalam hidupnya. Pria cenderung lebih cepat mundur dalam hal
ini daripada wanita. Hanya 11 persen dari orang berusia 20 tahun yang mengalami
kurang pendengaran. Sampai 51 persen dari orang yang berusia 70 tahun ditemukan
mengalami kurang pendengaran.
f.
Pembedaan
bunyi atau kemampuan untuk membedakan bunyi makin mengurang dengan bertambahnya
usia. Dengan demikian, bicara orang lain yang terlalu cepat makin sukar
ditangkapnya, dan bunyi sampingan dan suara di latar belakangnya bagai menyatu
dengan bicara orang. Makin sukar pula membedakan bunyi konsonan seperti t, g, b,
c, dan d.
6.
Langkah-Langkah Pokok dalam Andragogi
Langkah-langkah pokok
untuk mempraktikkan Andragogi adalah sebagai berikut:
a.
Menciptakan
Iklim Pembelajaran yang Kondusif: Ada beberapa hal pokok yang dapat dilakukan
dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan suasana yang kondusif untuk
proses pembelajaran, yaitu:
1)
Pengaturan Lingkungan Fisik:
Pengaturan lingkungan
fisik merupakan salah satu unsur dimana orang dewasa merasa terbiasa, aman,
nyaman dan mudah. Untuk itu perlu dibuat senyaman mungkin:
a)
Penataan dan
peralatan hendaknya disesuaikan dengan kondisi orang dewasa;
b)
Alat peraga
dengar dan lihat yang dipergunakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi fisik
orang dewasa;
c)
Penataan
ruangan, pengaturan meja, kursi dan peralatan lainnya hendaknya memungkinkan
terjadinya interaksi social.
2)
Pengaturan Lingkungan Sosial dan Psikologi:
Iklim psikologis hendaknya
merupakan salah satu faktor yang membuat orang dewasa merasa diterima, dihargai
dan didukung.
a)
Fasilitator
lebih bersifat membantu dan mendukung;
b)
Mengembangkan suasana bersahabat, informal dan santai melalui kegiatan Bina
Suasana dan berbagai permainan yang sesuai;
c)
Menciptakan
suasana demokratis dan kebebasan untuk menyatakan pendapat tanpa rasa takut;
d)
Mengembangkan semangat kebersamaan;
e)
Menghindari
adanya pengarahan dari "pejabat-pejabat" pemerintah;
f)
Menyusun
kontrak belajar yang disepakati bersama.
3)
Diagnosis Kebutuhan Belajar:
Dalam andragogi tekanan
lebih banyak diberikan pada keterlibatan seluruh warga belajar atau peserta
pelatihan di dalam suatu proses melakukan diagnosis kebutuhan belajarnya:
a)
Melibatkan
seluruh pihak terkait (stakeholder) terutama pihak yang terkena dampak
langsung atas kegiatan itu;
b)
Membangun
dan mengembangkan suatu model kompetensi atau prestasi ideal yang diharapkan;
c)
Menyediakan
berbagai pengalaman yang dibutuhkan;
d)
Lakukan
perbandingan antara yang diharapkan dengan kenyataan yang ada, misalkan
kompetensi tertentu.
4)
Proses
Perencanaan:
Dalam perencanaan pelatihan hendaknya melibatkan semua pihak
terkait, terutama yang akan terkena dampak langsung atas kegiatan pelatihan
tersebut. Tampaknya ada suatu "hukum" atau setidak tidaknya suatu kecenderungan
dari sifat manusia bahwa mereka akan merasa 'committed' terhadap suatu keputusan
apabila mereka terlibat dan berperanserta dalam pengambilan keputusan:
a)
Libatkan
peserta untuk menyusun rencana pelatihan, baik yang menyangkut penentuan materi
pembelajaran, penentuan waktu dan lain-lain;
b)
Temuilah dan
diskusikanlah segala hal dengan berbagai pihak terkait menyangkut pelatihan
tersebut;
c)
Terjemahkan
kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi ke dalam tujuan yang diharapkan
dan ke dalam materi pelatihan;
d)
Tentukan
pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas di antara pihak terkait siapa
melakukan apa dan kapan.
5)
Memformulasikan Tujuan:
Setelah menganalisis
hasil-hasil identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang ada, langkah
selanjutnya adalah merumuskan tujuan yang disepakati bersama dalam proses
perencanaan partisipatif. Dalam merumuskan tujuan hendaknya dilakukan dalam
bentuk deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut di atas.
6)
Mengembangkan Model Umum:
Ini merupakan aspek seni
dan arsitektural dari perencanaan pelatihan dimana harus disusun secara harmonis
antara beberapa kegiatan belajar seperti kegiatan diskusi kelompok besar,
kelompok kecil, urutan materi dan lain sebagainya. Dalam hal ini tentu harus
diperhitungkan pula kebutuhan waktu dalam membahas satu persoalan dan penetapan
waktu yang sesuai.
7)
Menetapkan Materi dan Teknik Pembelajaran:
Dalam menetapkan materi
dan metoda atau teknik pembelajaran hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a)
Materi
pelatihan atau pembelajaran hendaknya ditekankan pada pengalaman-pengalaman
nyata dari peserta pelatihan;
b)
Materi
pelatihan hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan berorientasi pada aplikasi
praktis;
c)
Metoda dan
teknik yang dipilih hendaknya menghindari teknik yang bersifat pemindahan
pengetahuan dari fasilitator kepada peserta;
d)
Metoda dan
teknik yang dipilih hendaknya tidak bersifat satu arah namun lebih bersifat
partisipatif.
8)
Peranan Evaluasi
Pendekatan: evaluasi secara konvensional (pedagogi) kurang efektif
untuk diterapkan bagi orang dewasa. Untuk itu pendekatan ini tidak cocok dan
tidaklah cukup untuk menilai hasil belajar orang dewasa. Ada beberapa pokok
dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar bagi orang dewasa yakni:
a)
Evaluasi
hendaknya berorientasi kepada pengukuran perubahan perilaku setelah mengikuti
proses pembelajaran/pelatihan;
b)
Sebaiknya
evaluasi dilaksanakan melalui pengujian terhadap dan oleh peserta pelatihan itu
sendiri (Self Evaluation);
c)
Perubahan
positif perilaku merupakan tolok ukur keberhasilan;
d)
Ruang
lingkup materi evaluasi "ditetapkan bersama secara partisipatif" atau
berdasarkan kesepakatan bersama seluruh pihak terkait yang terlibat;
e)
Evaluasi
ditujukan untuk menilai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan program
pelatihan yang mencakup kekuatan maupun kelemahan program;
f)
Menilai
efektifitas materi yang dibahas dalam kaitannya dengan perubahan sikap dan
perilaku.
sumber:psikologicenter.com
sumber:psikologicenter.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar