Kehidupan Personal
Erich
Fromm dilahirkan di Frankfurt, Jerman pada tanggal 23 Maret
1900.Pemikirannya banyak didasarkan pada subjek psikologi dan sosiologi.
Latar belakang akademiknya dimulai dari Universitas Frankfurt dengan major yurisprudensi.
Hanya bertahan setahun di sana, Fromm memutuskan untuk belajar
sosiologi di Universitas Heidelberg. Selama di Heidelberg, ia juga
belajar psikoanalisis di bawah bimbingan Frieda Richmann. Di tahun 1930,
ia bergabung dengan Frankfurt Institute for Social Research, sebuah
institut yang melahirkan Mahzab Frankfurt. Saat itu, ia juga
mengembangkan ilmunya dengan belajar psikoanalisis di Munich dan di Institut
Psikoanalisis Berlin. Di tahun 1934, ketika Nazi mengambil alih Jerman,
ia pindah ke Amerika Serikat. Kehidupannya di Amerika diisi dengan di
Institut Psikoanalisis Chicago dan melakukan praktik privat di New York
City. Sebelum pensiun, ia membangun psikoanalisis di Meksiko dan menjadi
profesor di sana. Terakhir, Fromm tinggal di Swiss dan meninggal di
Muralto, Swiss pada tanggal 18 Maret 1980.
Pandangan
Fromm tentang kehidupan banyak dipengaruhi oleh pengalaman masa
mudanya.Salah satunya ialah ketika di umur 12 tahun ia menyaksikan
seorang wanita cantik dan berbakat, sahabat
keluarganya, bunuh diri. Fromm sangat terguncang karena kejadian itu
karena tidak ada seorang pun memahami mengapa wanita tersebut memilih
mati bunuh diri. Ia juga dilahirkan sebagai anak dari kedua orangtua
yang neurotis. Ayahnya seringkali murung, cemas, dan muram. Ibunya mudah
menderita depresi hebat. Hidup dalam satu rumah tangga yang penuh
ketegangan, Fromm tidak dikelilingi pribadi-pribadi yang sehat.
Selanjutnya, ketikaberumur 14 tahun, Fromm melihat irasionalitas melanda
Jerman, tepatnya ketika pecah perang dunia pertama. Dia menyaksikan
bahwa orang Jerman menjadi ultranasionalis, terperosok ke dalam suatu
fanatisme sempit, histeris dan tergila-gila.Orang-orang dekatnya menjadi
terpengaruh; saudaranya, teman-teman dan kenalannya, sampai seorang
guru yang sangat ia kagumi. Akhirnya, banyak dari mereka meninggal di
parit-parit perlindungan. Ia heran mengapa orang yang baik dan bijaksana
tiba-tiba menjadi gila.
Karena
berbagai peristiwa itulah, kehidupan muda Fromm merupakan laboratorium
hidup bagi observasinya terhadap tingkah laku neurotis. Dari
pengalaman-pengalaman yang membingungkan ini, Fromm mengembangkan
keinginan untuk memahami kodrat manusia dan sumber tingkah laku
irasional. Dia menduga hal itu adalah akibat kekuatan sosio-ekonomis,
politis, dan historis yang secara masif mempengaruhi kodrat kepribadian
manusia.
Karya Pemikiran Erich Fromm
Karya-karya
Fromm dibentuk melalui wawasan yang luas yang luas tentang sejarah,
sosiologi, kesusastraan, dan filsafat. Tema dasar dari dasar semua
tulisan Fromm eksistensialisme manusia dalam kebebasan. Dalam pandangan
Fromm, individu adalah entitas yang merasa terisolasi karena dipisahkan
dari alam dan orang-orang lain. Hal ini terangkum dalam karyanya yang
pertama, Escape from Freedom (1941). Di buku ini, Fromm mengajukan tesis bahwa manusia seiring perkembangan peradaban, menjadi semakin bebas. Di sisi lain, kebebasan manusia membuat mereka makin merasa kesepian (being lonely).
Kebebasan menjadi keadaan yang negatif dari mana manusia melarikan
diri. Manusia gamang dan takut dengan kebebasan yang sebenarnya tak
memberi jaminan dan kepastian.
Jawaban
dari ketakutan akan kebebasan tersebut terwujud dalam dua pilihan.
Pertama, semangat cinta dan kerjasama yang menghasilkan manusia yang
mengembangkan masyarakat yang lebih baik. Kedua, manusia merasa aman
dengan tunduk pada penguasa yang kemudian dapat menyesuaikan diri dengan
masyarakat. Totalitarianisme, kekejian, materialisme, dan berbagai
manifestasi sifat vulgar manusia lainnya, menurut Fromm, tak lain
merupakan bentuk pelarian seseorang dari kebebasan (Subono, 2010).
Pandangan ini sebenarnya merupakan bekas jejak memori masa lalu Fromm
yang membuatnya merasa prihatin terhadap rezim-rezim yang didirikan
manusia (Rahmawati, 2011).
Dalam
buku-buku Fromm berikutnya (1947, 1955, 1964), dikatakan bahwa dalam
kehidupan manusia terdapat sebuah kontradiksi dasar. Kontradiksi di sini
mengandung maksud bahwa manusia merupakan bagian tetapi sekaligus
terpisah dari alam, merupakan binatang sekaligus manusia. Sebagai
binatang, individu memiliki kebutuhan fisik tertentu yang harus
dipuaskan. Sebagai manusia, individu memiliki kesadaran diri, pikiran,
perasaan, dan khayalan. Pengalaman khas manusia meliputi perasaan lemah
lembut, cinta, kasihan, perhatian, tanggung jawab, identitas,
intergritas, bisa terluka, transendensi, dan kebebasan, nilai-nilai
serta norma-norma. Oleh karena itu, setiap masyarakat yang diciptakan
manusia, entah termanifestasikan dalam bentuk feodalisme, kapitalisme,
fasisme, sosialisme, dan komunisme, semuanya menunjukkan usaha manusia
untuk menciptakan jalan tengah atas kontradiksi tersebut.
Dalam To Have or To Be (1976), Fromm menyatakan bahwa ada dua modus eksistensi manusia dalam masyarakat kapitalis. Pertama adalah ‘memiliki’ (to have).
Modus ini cenderung tidak sehat karena dalam modus ini, eksistensi ini
manusia menjadi utuh dengan membeli, memiliki, dan terobsesi pada
sesuatu. Kedua adalah ‘menjadi’ (to be). Kebalikan darito have,to be cenderung
bersifat positif, sehat, dan mengaktualisasikan kesejatian manusia.
Dalam modus ini, seseorang merasa utuh dengan bekerja, berproses,
merealisasikan dirinya. Dengan kata lain sebuah proses ‘menjadi’
seseorang yang beridentitas. Isu yang ditelaah oleh Fromm ini sangat
dekat dengan masyarakat modern di mana identitas dan eksistensi
berbanding lurus dengan banyaknya barang bermerk mahal yang dimiliki, di
mana kegemaran akan berbelanja lebih menuruti gengsi daripada
kebutuhan.
Kodrat
manusia bukanlah sekumpulan potensi tertentu yang hanya sekedar
menerima apa yang didapat dari lingkungan budaya, tetapi ada faktor inner
yang merupakan dorongan eksistensial manusia, yang terdiri atas
dorongan yang produktif dan nonproduktif (Fromm, 1947). Dorongan
produktif identik dengan sikap cinta akan kehidupan yang berakar,
sedangkan dorongan non-produktif identik dengan sikap
destruktif-nekrofilik yang dicerminkan oleh sikap reseptif,
eksploitatif, menimbun serta karakter pasar. Dorongan eksistensial
produktif dan nonproduktif ini berakar dalam orientasi hidup manusia.
Struktur
sosial masyarakat modern saat ini menurut Fromm (1955, 1976) telah
membentuk watak sosial yang pasif-non produktif yang berakarkan pada
orientasi to have, sehingga
perlu adanya kesadaran baru guna merombak orientasi ini. Kebudayaan
modern seolah-olah telah memberikan pola-pola yang memungkinkan mereka
hidup seutuhnya. Akan tetapi, dalam pandangan Fromm walaupun kebudayaan
modern kurang memberi gerak bagi upaya menumbuhkan orientasi to be,
orientasi ini akan selalu ada, karena merupakan orientasi dasar yang
melekat dalam diri manusia. Dengan demikian, harapan untuk
menumbuhsuburkan orientasi ini terbuka lebar. Ditandai dengan munculnya
kesadaran bahwa atas dasar pertimbangan ekonomi dan profit semata-mata,
seseorang tidak akan mencapai kebahagiaan. Tanda lain yang memberikan
harapan adalah meningkatnya ketidakpuasan terhadap sistem sosial yang
ada. Mereka tidak bahagia karena merasa terpencil dan karena
‘kebersamaan’ mereka terasa hampa. Mereka merasakan kemandulan dan tidak
bermaknanya hidup yang mereka jalani.
Oleh
karena itu, konsepsi masyarakat ideal yang harus diwujudkan adalah
masyarakat yang berhubungan satu sama lain dengan penuh cinta, berakar
pada ikatan persaudaraan dan solidaritas. Dalam pandangan Fromm,
individu akan mencapai hakikat manusiawi seutuhnya di dalam lingkungan
masyarakat yang memberi ruang bagi individu untuk mencapai pengertian
tentang diri dengan mengalami dirinya sebagai subjek dari potensinya,
bukan dengan bertindak sesuai konformitas. Fromm mengusulkan suatu nama
untuk masyarakat yang sempurna tersebut, yaitu Sosialisme Komunitarian
Humanistik (Subono, 2010).
Erich Fromm dan Teori Kritis
Pemikiran Fromm sangat dipengaruhi oleh tulisan Karl Marx, terutama oleh karya Marx yang pertama, The Economic and Philosophical Manuscripts.
Namun, sebagai seorang psikoanalis yang berkiblat pada Freud, Fromm
membandingkan ide-ide Freud dan Marx. Ia menyelidiki
kontradiksi-kontradiksi keduanya dan melakukan percobaan yang sintesis.
Pada tahun 1959, Fromm menulis analisis yang sangat kritis bahkan
polemis tentang kepribadian Freud dan pengaruhnya, sebaliknya berbeda
sekali dengan kata-kata pujian yang diberikan kepada Marx pada tahun
1961. Fromm berujung pada kesimpulan bahwa Marx merupakan pemikir yang
lebih ulung daripada Freud. Meskipun Fromm dapat disebut sebagai seorang
teoritikus kepribadian Marxis, ialebih memilih disebut filsuf humanis
dialektik.
Di
sisi lain, ia menemukan celah-celah dalam pemikiran Marx dan
menggunakan psikoanalisis untuk mengisi celah tersebut. Oleh karena
itulah, ketika bergabung dengan Sekolah Frankfurt yang meletakkan dasar
ajarannya pada pemikiran Marx, Fromm melakukan kritik ideologi melalui
ajaran Freud. Erich Fromm-lah yang memberikan kontribusi psikoanalisis
Freud dalam tradisi kritis. Menurut Fromm, Teori Kritis membutuhkan
psikoanalisis karena dapat mempertajam kritik ideologi Marx. Menurut
Marx, ideologi adalah bentuk manifestasi kesadaran palsu. Ideologi tidak
menggambarkan situasi nyata manusia secara apa adanya, tetapi merupakan
legitimasi yang digunakan kelompok borjuis untuk menindas kelas
pekerja. Oleh karena itu, psikoanalisis dapat menjelaskan mengapa
kesadaran palsu itu dapat diciptakan.
Titik kulminasi karya filosofi sosial Fromm dapat dilihat di bukunya The Sane Society (1955).Dalam
buku ini, Fromm menolak baik komunisme Soviet maupun kapitalisme barat
karena keduanya dipandangnya sebagai dehumanisasi yang melahirkan
fenomena alienasi modern yang terjadi secara universal. Dengan berpijak
pada Marx, Fromm menekankan kembali konsepsi ideal kebebasan, yang telah
banyak hilang dari Marxisme Soviet dan justru lebih banyak ditemukan
pada tradisi sosialis libertarian. Ia merumuskan suatu sistem masyarakat
ideal ialah yang berlandaskan humanisme dan sosialisme demokrat.
Dalam
pandangan Fromm (1955), tatanan masyarakat ideal tersebut dapat
terealisasikan apabila tercapai suatu kondisi di mana kontradiksi dan
irasionalitas sosial manusia terhapus. Menurut Fromm kedua hal itulah
yang telah menjebak seluruh sejarah umat manusia dalam ‘kesadaran palsu’
agar dengan hormat membenarkan dominasi dan ketundukan sehingga
eksistensi tatanan sosial tidak berjalan seiring dengan kemampuan
pemikiran kritis manusia. Untuk menghapuskan kontradiksi dan
irasionalitas sosial, jalan yang harus dilakukan adalah melalui proses
penyadaran sosial.
Fromm
melihat bahwa hubungan antara struktur sosial dan karakter sosial serta
individu tidak pernah statis, unsur tersebut memiliki hubungan sebagai
proses yang tidak pernah berakhir. Perubahan pada salah satu faktor
berarti perubahan pada keduanya. Struktur sosial masyarakat dapat
mempengaruhi pembentukan karakakter sosial anggota-anggotanya, sehingga
mereka ingin melakukan apa yang harus mereka lakukan. Pada saat yang
bersamaan, karakter sosial mempengaruhi struktur sosial masyarakat
dengan jalan berfungsi sebagai sumber perekat yang memperkukuh
stabilitas struktur sosial, atau dapat pula sebagai perombak struktur
sosial.
Transformasi
dari masyarakat yang sakit kepada masyarakat yang sehat menurut Fromm
tergantung dari penciptaan kembali kesempatan bagi anggota-anggota
masyarakat untuk berjalan bersama, saling mengagumi, saling menyapa,
untuk menciptakan orientasi baru dari kehidupan dan dalam budaya mereka.
Prinsip perubahan ini menurut Fromm juga selaras dengan apa yang pernah
diungkapkan Marx. Fromm menjelaskan bahwa Marx telah mencoba
menghancurkan ilusi-ilusi yang cenderung menutupi kesadaran para pekerja
mengenai kesengsaraan mereka.
Berangkat
dari pikiran-pikiran Marx yang fundamental dan penerapan kebebasan pada
manusia, Fromm membawa teori kritis pada pengertian baru tentang
kebahagiaan manusia. Kebahagiaan yang ditawarkan oleh industri konsumsi
adalah kebahagiaan semu, karena tidak membawa manusia pada pemilikan
diri yang tenang, melainkan membuatnya tergantung dari semakin banyak
benda; Padahal menurut Fromm (1987) seharusnya kebahagiaan seharusnya
ketika manusia being more, bukan having more.
Penyakit
peradaban tidak selalu ditentukan oleh kemiskinan material saja, tetapi
juga oleh hilangnya semangat kebebasan dan keyakinan diri. Fromm (1955)
mengingatkan bahwa gejolak-gejolak yang akan mengubah wajah dunia akan
bersemi, tetapi tidak dikarenakan ‘revolusi’ atau ‘reformasi’, melainkan
disebabkan kehendak untuk bebas. Individu-individu akan bertindak
bersama-sama dengan kesadaran penuh akan ketergantungan mereka satu sama
lain, tetapi mereka juga bertindak untuk diri mereka sendiri. Kebebasan
mereka tidak diberi dari atas, tetapi mereka akan mengambil apa yang
menjadi hak mereka.
Daftar Pustaka
Subono, Nur Iman. (2010). Erich Fromm: Psikologi Sosial Materialis yang Humanis. Jakarta: Kepik Ungu.
Rahmawati, Devie. Dalam Dilema Kebebasan. (2011, 21 April). Kompas, 11.
Habib, Zainal. (2001). Pancasila sebagai Pola Dasar Budaya indonesia dalam Analisis Erich Fromm. Yogyakarta : Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar